Apapun itu, kalo yang namanya sakit pasti rasanya begitu sakit.
Khususnya sakit hati, sakit yang lukanya akan terasa selama kita masih
bernafas. Seperti halnya kisah seorang anak yang selalu marah setiap
hari. Alkisah ada seorang ayah yang selalu bersama bersama anaknya. Ia
mengkhawatir kang sang anak yang kian hari kian sifat pemarahnya
semakin menjadi. Jika terus demikian sang ayah khawatir sikap anaknya
ini tak akan pernah berubah selamanya.
Hingga suatu ketika sang ayah berbicara berdua dengan sang anak.
Bukan memintanya untuk berhenti bersikap marah namun sang ayah hanya
meminta satu hal pada anaknya ini. Yaitu setiap kali anaknya marah ia
harus memakukan sebuah paku ke sebuah papan di belakang rumah mereka.
Sang anak pun mengiyakan permintaan ayahnya.Kemudian keesokan
harinya, sang anak mulai melakukan apa yang diminta ayahnya. Hari itu
sang ayah merasa takjub melihat jumlah paku yang tertancap di papan
belakang rumahnya. Karena banyaknya jumlah paku yang tertancap dipapan
tersebut. Seiring berjalannya waktu, jumlah paku yang ditancapkan sang
anak kian berkurang jumlahnya dari hari ke hari.
Sampai suatu hari dimana sang anak tidak menancapkan satu paku pun ke
papan di belakang rumah. Sang ayah kemudian kembali berbicara berdua
dengan sang anak. Bukan pujian yang ia berikan kepada sang anak. Kali
ini ia kembali hanya meminta satu hal lagi pada sang anak. Ia meminta
sang anak untuk mencabuti satu per satu paku yang pernah ia tancapkan di
papan belakang setiap kali sang anak merasakan bahagia.
Dan sang anak pun kembali mengiyakan permintaan ayahnya. Sama halnya
dengan sebelumnya. Seiring bergantinya hari , paku-paku yang tertancap
di papan belakang rumahpun kian berkurang jumlahnya. Satu demi satu
paku-paku itu lepas dari tempatnya. Dan luar biasa, semua paku yang
pernah tertancap disana akhirnya habis di cabuti oleh sang anak.
Dan untuk ketiga kalinya sang ayah pun kembali berbicara berdua dengan sang anak. Sang ayah berkata pada anaknya
“Masih ingatkah kamu ketika dulu sering kali marah? Tiap kali kamu
marah papan di belakang rumah semakin banyak ditancapi oleh paku.” Sang
anak pun mengangguk mengiyakan perkataan sang ayah. Kemudian sang ayah
melanjutkan perkataannya “ dan masih ingatkah kamu ketika dulu kamu
sering kali merasakan kebahagiaan? Ketika itu jumlah paku di papan
belakang kian hari kian berkurang jumlahnya” sang anak pun kembali
menganggukan kepala.
“ dan sekarang, apa yang kamu liat pada papan di belakang rumah
tadi?” sang anak menatap papan tersebut dalam diam “ Yah, lubang. Ada
begitu banyak lubang yang tersisa dipapan tadi. Anakku begitulah yang
terjadi ketika kamu bersikap buruk pada orang lain, kamu seperti
menancapkan paku di hati mereka. Ketika kamu menyadari perbuatanmu
kemudian kamu meminta maaf atas sikapmu itu, seperti halnya kamu
melepaskan paku tersebut dari hati mereka. Anakku meski kamu telah
meminta maaf kepadanya hingga ia benar-benar memaafkanmu, ketahuilah
bahwa masih ada seberkas luka yang tersisa di hatinya ketika kamu
bersikap demikian. Kamu meninggalkan sebuah bekas luka yang tak pernah
bisa kamu hapus sepanjang hidupnya.”
Begitulah ketika kita mengalami sakit hati, luka yang pernah
tertancap dihati akan selalu berbekas walau kita telah mengikhlaskan itu
semua. Wajar saja kalo panyanyi kita bilang “dari pada sakit hati lebih
baik sakit gigi”, karena luka hati akan terus ada. Oleh karena itu mari
kita terus berusaha menjadi diri kita yang terbaik, agar setiap hal
yang kita lakukan adalah sikap yang terbaik bagi semuanya sehingga tak
ada satu hatipun yang kita lukai.
Allahumma, thahir qulubana minan-nifaaq
wa ‘amaalana minar-riyaa’,
wa alsinatana minnal kadzib,
wa ‘ayunana minnal khiyaanah,
Innak t’alam khaa’inatal ‘ayun
wa ma tukhfis-shuduur.
wa ‘amaalana minar-riyaa’,
wa alsinatana minnal kadzib,
wa ‘ayunana minnal khiyaanah,
Innak t’alam khaa’inatal ‘ayun
wa ma tukhfis-shuduur.
“O Allah, purify our souls from hypocrisy,
our tongues from lying,
and our eyes from treachery.
You know the treacherous eyes
and what is buried in the hearts.”
our tongues from lying,
and our eyes from treachery.
You know the treacherous eyes
and what is buried in the hearts.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar